tagarutama.com, Fakfak – Untuk mengawali tulisan ini mari kita flashback kebelakang, melihat realitas saat ini, sejauh mana peran politik dalam kehidupan kita sehari-hari. apakah memberikan pengaruh yang positif atau sebaliknya.
Politik tidak melulu soal perebutan kekuasan. Namun, lebih penting dari itu, politik adalah seni menggunakan kekuasan untuk kepentingan umum (rakyat).
Politik sebagai seni menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat yang kami pahami memiliki tiga konsekuensi. Pertama, cara kerja politik (agitasi-propaganda, pengorganisiran dan pewadahan massa, kaderisasi, mobilisasi, dll) haruslah bermuara tujuan politik yaitu pemenuhan terhadap kepentingan atau harapan rakyat.
Kedua, komunitas politik harus berisikan manusia-manusia politik (politisi/aktivis partai atau organisasi politik) yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Dari sini kita dapat menilai semua aktor politik diandaikan menjadi subjek politik yang sadar dan dan cenderung memiliki gagasan-gagasan politik.
Ketiga, ruang politik merupakan arena atau ajang pertarungan gagasan, ideologi, dan program-program politik untuk kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat bukan hanya subjek untuk ditawari program dan mimpi-mimpi politik, tetapi sekaligus diajak untuk bersama-sama mewujudkan program dan cita-cita perjuangan politik tersebut.
Sekarang kita lihat dalam kenyataannya dalam arena politik bernama: Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam banyak kampanye dan sosialisasi soal pemilu, selalu dikatakan bahwa pemilu ini menyangkut nasib seluruh rakyat Indonesia dalam 5 tahun kedepan.
Anggapan di atas mungkin tidak sepenuhnya salah. Namun, supaya kita tidak terjerembab dalam optimisme kosong, ada pertanyaan yang perlu dijawab: seberapa jauh kita menyakini pemilu sebagai ajang politik untuk kepentingan rakyat?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya akan menjawab dengan mencoba menginterogasi tiga hal yang prinsip yaitu cara kerja politik semua aktor-aktor politik dalam pemilu, mengidentifikasi aktor-aktor politik yang bertarung, dan apa yang dipertarungkan di ruang politik pemilu itu.
Baiklah, kita mulai dari yang pertama: cara kerja politik. Di sini berupa agitasi-propaganda, pengorganisiran dan pewadahan massa, kaderisasi atau pendidikan politik, dan mobilisasi massa. Mari kita lihat cara kerja politik para aktor politik (Caleg, Partai, dan Capres) dalam beberapa pemilu yang telah dilaksanakan.
Setiap pemilu, ruang-ruang publik disesaki dengan alat-alat kampanye, terutama baliho, spanduk, dan sticker. Sebagian besar hanya menampilkan wajah caleg yang sudah di-make-up dan dengan senyum sumringah. Lalu isiannya hanya seruan: pilihlah saya! Tidak ada agitasi-propanda yang berusaha menyakinkan kita kenapa harus memilih caleg bersangkutan.
Aspek utama dari propaganda adalah penyebarluasan gagasan-gagasan politik. Sementara, dalam kasus kampanye para caleg, aspek utama propaganda mereka adalah pengenalan diri dan seruan untuk memilih dirinya. Nyaris tidak ada aspek penyebaran gagasan politik di situ.
Begitu pula dengan aspek pengorganisiran dan pewadahan massa. Bagi kita idealnya, pemilu adalah arena untuk mengorganisasikan dan mewadahi massa dalam organisasi politik: partai dan organisasi massa pendukungnya. Jadi, di sini massa tidak diletakkan hanya sebatas sebagai pemilih, tetapi harus dianggap sebagai partisan dari perjuangan politik itu sendiri.
Dalam konteks pemilu, hal itu tidak terjadi. Bagi caleg, juga parpol kontestan pemilu, massa masih sebatas pemilih. Biasanya massa pemilih ini dihimpun dalam wadah yang cair dan temporer, seperti tim sukses atau relawan. Makanya jangan heran, dari pemilu ke pemilu, keanggotaan real partai politik kontestan pemilu di Indonesia tidak pernah bertambah signifikan.
Kemudian, hampir tidak ada caleg, bahkan parpol, yang menjalankan proses kaderisasi atau pendidikan politik ke massa potensial pendukungnya saat pemilu. Loyalitas massa terhadap caleg atau partai diikat bukan berbasiskan kesadaran politik massa, melainkan berbasiskan kedekatan emosional, primordialisme, etnisitas, bantuan materi (uang/sembako), dan lain-lain.
Dalam pemilu, proses mobilisasi massa juga tereduksi sekedar untuk meramaikan kampanye caleg atau partai dan mobilisasi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kita nyaris tidak menemukan ada mobilisasi massa dalam kerangka merespon persoalan-persoalan mendesak rakyat di teritori tempat tinggalnya, seperti persoalan pendidikan, kesehatan, air bersih, dan lain-lain. Padahal, sebagai bentuk komitmen caleg atau partai terhadap persoalan rakyat, mereka seharusnya turut merespon persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi oleh rakyat tersebut.
Lebih parah lagi, tidak sedikit Caleg yang malah mengambil jalan metafisik untuk memperoleh kesuksesan. Ada yang melakukan ritual di tempat-tempat keramat, seperti sungai, pohon tertentu, makam, dan lain-lain.
Di sini, kalau kita lihat, nyaris para caleg itu mengabaikan cara kerja politik dan bahkan mengabaikan politik itu sendiri. Mereka terjebak pada aspek teknikal untuk pemenangan diri semata. Masing-masing caleg sibuk memasarkan diri agar dipilih oleh massa. Tidak ada urusan dengan tugas-tugas politik seperti penyadaran massa, pengorganisasian politik, kaderisasi, dan mobilisasi.
Jadi, sekalipun seseorang caleg punya niat pribadi yang mungkin baik, tetapi karena tidak ditopang oleh cara kerja politik, maka peluang dia untuk menggunakan kekuasaan untuk kepentingan rakyat ketika terpilih pun sangat nihil.
Kemudian yang kedua: soal komunitas atau aktor-aktor politik. Pada desertasi Pramono Anung, anggota DPR dari PDI Perjuangan, yang berjudul “Komunikasi Politik dan Interpretasi para Anggota DPR Kepada Konstituen Mereka”, menyebutkan bahwa motivasi utama orang menjadi anggota DPR adalah motif ekonomi, yakni mencari nafkah. Jadi, bagi caleg demikian, DPR bukanlah tempat untuk memperjuangkan agenda politik rakyat, melainkan sebagai lahan basah untuk memperkaya diri sendiri.
Tak heran, banyak orang yang berlomba-lomba terjun ke politik, bukan karena gagasan dan cita-cita politik, melainkan karena mimpi berebut rezeki di lahan basah tersebut. Alhasil, yang nampak bukanlah komunitas politik, melainkan kerumunan orang-orang yang berebut kesempatan di lahan basah.
Masalahnya lagi, parpol bukan lagi menjadi sekolah untuk mendidik dan mengarahkan massa untuk menjadi kader politik, melainkan sebagai tempat penjualan tiket (kursi/promosi jabatan) kepada orang-orang yang ingin menggunakan kekuasaan sebagai jalan pintas memperkaya diri.
Baca juga: Transaksi Oligarki, Bahaya Bohir bertebaran di Tahun Politik
Kemudian yang ketiga: pemilu sebagai arena perjuangan gagasan dan program-program politik. Benarkah hal ini terjadi?
Akhir-akhir ini ruang politik kita makin mengarah ke pertarungan antara figur. Proses ini ditandai menguatnya ‘politik penampakan luar’, yakni penonjolan tampilan, kepiawaian bererotika, pengaturan mimik, gerak badan, dan dramatisasi tindakan, untuk menutupi kelemahan sang figur.
Selain itu, dengan dukungan media dan lembaga survei, popularitas sang figur bisa didongkrak. Dan, supaya popularitas sang figur itu bisa memikat minat massa, maka dibangunlah image buatan: misalkan, supaya dikatakan merakyat, ditayangkanlah sang figur yang rajin mengunjungi buruh dan petani. Padahal, ketika masih jauh dari ajang pemilu, sang figur tidak pernah melakukan hal tersebut. Itulah yang kita lihat dalam iklan-iklan politik di TV maupun media sosial.
Pada kenyataannya, politik semacam ini makin menyingkirkan perananan gagasan, ideologi, dan program-program politik. Dalam politik yang kian menonjolkan figur ini, ukuran yang selalu diketengahkan adalah popularitas dan elektabilitas. Sekalipun anda punya program politik yang bagus, tetapi karena kurang dikenal, belum tentu anda terpilih. Sebaliknya, sekalipun anda tidak punya program politik, tapi karena sangat terkenal entah selebritis, olahragawan, tokoh masyarakat, dll, anda punya peluang untuk terpilih.
Menjadi wakil rakyat berarti menjadi perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi, pikiran, kepentingan, kegundahan, aspirasi rakyat yang menjadi konstituennya. Ini adalah posisi yang sangat penting dan sangat serius untuk dijalani. Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka yang akan mencalonkan diri, memiliki rekam jejak yang jelas dan tidak tercederai oleh tindakan melawan hukum.
Nah, dari berbagai penjelasan di atas, masihkah pemilu sebagai ajang perjuangan politik untuk kepentingan rakyat? Atau pertanyaan lebih kedepan lagi, bisakah pemilu melahirkan pemegang mandat yang benar-benar menggunakan mandatnya untuk kepentingan rakyat? Sekali lagi, sesuai judulnya semestinya tongkat keberhasilan ada pada rakyat Indonesia. Bijak memilih adalah solusi sementara yang harus dimiliki. Solusi jangka panjangnya ada pada peran masing-masing partai politik berdasar pada ideologi dan gagasan yang dimiliki. Ketika idealisme politik terbentuk, maka rakyat Indonesia merasakan kesejahteraan dan kepentingan mereka terpenuhi.
1 komentar