tagarutama.com – Bentrokan antara pekerja WNI dan tenaga kerja asing (TKA) asal China di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, Sabtu 14/1 lalu dipicu oleh perbedaan gaji yang diberikan untuk pekerja WNI dan TKA asal China sangat jomplang.
Adanya temuan persoalan gaji ini diperoleh setelah dilakukan kunjungan kerja oleh Komisi III DPR RI ke PT. GNI. Kunjungan ini dilakukan dalam rangka untuk menyelidiki perihal penyebab bentrokan yang terjadi. Kunjungan dilakukan selama dua hari, Kamis-Jumat (19-20/1).
Dalam pertemuan tersebut, Komisi III menampung banyak keluhan dari Serikat Pekerja PT GNI yang didirikan pekerja WNI. Misalnya sistem keselamatan dan kesehatan kerja (K3) untuk karyawan yang tidak berjalan, alat pelindung diri (APD) yang cuma diberikan kepada TKA, adanya perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hanya diberikan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, pemutusan kontrak pekerja secara sepihak terhadap pekerja yang bergabung dengan serikat pekerja, serta perbedaan gaji Pekerja WNI dan TKA asal China yang sangat jomplang.
Baca juga: Pembakaran Al-Qur’an di Swedia, PKS : Mengutuk Aksi Pembakaran Al-Qur’an
Baca juga: Konspirasi Amerika terhadap Gelar ‘Person of the Year’ Versi Majalah TIME AS
Dibeberapa negara dimana China banyak berinvestasi didalam industri teknologi, sering kali terjadi permsalahan.
Di Negaranya sendiri tepatnya di Tiongkok pernah diberlakukan kampanye “Worker Lives Metter”, sebuah ajakan bagi para pekerja untuk mencatat waktu kerja sehari-hari di laman internet publik. Ini sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kerja 996 yang ramai dipakai perusahaan teknologi Tiongkok.
Jam kerja yang panjang adalah topik hangat bagi pekerja teknologi China. Masalah ini pertama kali mendapat perhatian pada 2019, ketika pekerja teknologi meluncurkan kampanye online serupa melawan “996”.
praktik bekerja “996”, adalah bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama enam hari seminggu.
Dalam beberapa bulan saat aksi protes dilakukan kritik terhadap jam kerja yang panjang semakin disorot karena tindakan keras pemerintah terhadap perusahaan teknologi yang menilai perlakuan mereka terhadap pekerja.
Di Serbia salah seorang pekerja berasal dari Vietnam berusia 35 tahun yang tinggal di dekat sebuah bangunan terbengkalai di Kota Zrenjanin, bagian utara Ibu Kota Beograd.
“Perusahaan China memperlakukan kami dengan sangat buruk. Mereka tidak menghormati kami,” kata ayah tiga anak itu dengan suara pelan.
Dung – bukan nama sebenarnya – mengatakan dia telah dibayar setara dengan £1.200 (sekitar Rp22 juta) ke Serbia untuk pekerjaan konstruksi di lokasi pabrik ban Ling Long. Tapi dia segera menyesalinya.
“Mereka memaksa kami untuk bekerja lebih banyak, tetapi mereka tidak menyediakan cukup persediaan. Ketika saya pertama kali datang ke sini, saya mendapatkan makanan yang berbeda dengan para pekerja asala China, mereka dua kali lebih banyak.”
Dung mengungkapkan 400 atau lebih pekerja Vietnam yang direkrut dibayar lebih rendah daripada karyawan China di lokasi yang sama.
“Ada 20 atau 30 pekerja yang tinggal bersama di setiap kontainer. Mereka memperlakukan kami seperti budak.”
Bukan hanya mengalami kondisi buruk, para pekerja pun dipaksa menandatangani kontrak kerja yang tidak layak.
LSM asal Serbia yang melihat kondisi di pabrik ban Ling mengatakan mereka terkejut ketika menyadari apa yang terjadi di sana.
“Ini adalah kasus perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja yang paling terlihat yang pernah kami alami di negara ini sejauh ini,” kata Danilo Curcic dari LSM A 11 Initiative.
Disampaikan “Jika Anda melihat perusahaan China datang ke negara-negara lain dan Anda tidak memiliki institusi yang cukup kuat untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia atau pelanggaran ketenagakerjaan, Anda mungkin akan bersaing ketat untuk memikatnya.”
Seperti halnya negara yang menjadi tempat China berinvestasi, Pemerintah Serbia berpendapat investasi dari China telah meningkatkan pertumbuhan ekonominya dan Presiden Aleksandar Vucic berpendapat investasi China lebih lanjut tidak boleh diganggu oleh sejumlah kecil pekerja Vietnam.
Baik di Indonesia maupun Serbia adalah beberapa contoh persoalan yang ditimbulkan oleh hubungan kerjasama yang tidak dilandaskan atas kepentingan Negara. Kondisi di atas menjadi tolak ukur bagi negara manapun sebelum menerima investasi dari negara yang ingin berinvestasi harus mempertimbangkan pro dan kontra dalam merangkul kesepakatan dengan berdasarkan kasus per kasus.
Harusnya kembali mengkaji ulang hubungan kerjasama yang terjalin. Setiap negara wajib mendahulukan kepentingan negara yang didalamnya terdapat warga negaranya yang harus dilindungi. Demi kepentingan investasi atau apapun kesemua itu harus didasarkan pada kedaulatan bangsa dan negaranya.(tu.01)