Paham hak asasi manusia lahir di lnggris pada abad ke-17. Bermula dari Inggris yang memiliki tradisi perlawanan terhadap segala keputusan raja untuk mengambil kekuasaan yang mutlak. Pada tahun 1215 para bangsawan sudah memaksa raja untuk memberikan Magma Charta Libertatum yang melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang.
Tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu dokumen keberadaban hukum yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan diberi tahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar prinsip hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim.
Sesudah the Glori-Ous Revolution menggantikan raja James ll dengan William dari Oranye, William dalam Bill of Rights (1689) harus mengakui hak-hak parlemen sehingga Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memiliki sebuah Negara konstitusi dalam arti modern.
Perkembangan itu dipengaruhi oleh filsafat John Locke (1632-1704), di samping menuntut toleransi religius (kecuali terhadap orang Katolik dan ateis), mengemukakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan (inalienable), di antaranya termasuk hak atas hidup, kemerdekaan dan hak milik, termasuk hak untuk mengusahakan kebahagiaan.
Baca juga: RIP Pele, Maestro Sepakbola Dunia yang Pernah Berkunjung ke Indonesia
Gagasan-gagasan Locke amat berpengaruh pada abad ke-18, terutama di daerah jajahan Inggris di Amerika dan Prancis, sekaligus menjadi dasar filosofis liberalisme.
Bill of Rights of Virginia (1776) memuat daftar hak-hak asasi manusia lengkap yang pertama, hampir secara harfiah memuat pesan-pesan John Locke. Revolusi Prancis pada 1789 menghasilkan suatu “pernyataan tentang hak sebagai manusia dan warga negara” (Déclaration des droits des hommes et des citoxens) yang kemudian menjadi pedoman bagi banyak pernyataan hak-hak asasi manusia. Di dalamnya dibedakan antara hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat dan negara. Disebutkan bahwa semua orang lahir dengan bebas dan sama haknya. Disebutkan hak atas kebebasan, hak milik, hak atas keamanan, atas perlawanan terhadap penindasan. Bahkan dimuat hak sebagai warga negara setiap berhak untuk ikut terlibat dalam pembuatan undarng-undang.
Selama abad ke-19 kaum borjuasi liberal memperjuangkan negara konstitusional dan berjuang untuk pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia melawan pemerintah-pemerintah yang feodal dan absolut. Akan tetapi, pada abad yang sama menyaksikan kontestan baru yang masuk ke panggung perjuangan: kaum buruh.
Semula mereka mendukung perjuangan borjuasi melawan sisa-sisa feodalisme. Tetapi, sekaligus mereka melawan borjuasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia pekerja. Dari perjuangan yang mereka jalankan di bawah bendera sosialisme, lahirlah hak-hak asasi sosial. Dapat dikatakan bahwa sistem negara hukum demokratis dan sosial yang merupakan ciri khas bagi pola kenegaraan di Eropa Barat sekarang merupakan hasil perjuangan borjuasi dan gerakan buruh selama dua ratus tahun.
Dalam abad ini perjuangan demi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia berubah arah. Kalau perjuangan borjuasi liberal dan kaum buruh terutama untuk mencapai kedudukan sama dengan kelas-kelas yang memonopoli pegangan atas kekuasaan, maka dalam abad ke-20 penindasan semakin dilakukan oleh negara sendiri atau oleh suatu sistem pemerintahan yang totaliter terhadap masyarakatnya sendiri atau sebagian daripadanya.
Pernyataan hak-hak asasi sedunia yang pertama, yang diterima oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasionalsosialis tahun dua puluh sampai empat puluhan.
Sementara ini, elite nasional bangsa-bangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan dirinya sendiri’, sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk melegitimasikan perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan. Dua persetujuan PBB tahun 1966, Persetujuan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomis, Sosial, dan Kultural, dan Persetujuan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, berbeda dengan Piagam PBB tahun 1948, juga memperhatikan masalah-masalah khusus negara-negara bekas Jajahan.
Pada tahun 70-an, perjuangan demi hak-hak asasi semakin terarah pada apa yang sering disebut sebagai repressive developmentalist regimes, rezim-rezim sebagaimana banyak muncul di negara-negara berkembang yang menindas kebebasan politis, sosial, dan ekonomis masyarakat demi suatu pembangunan ekonomis yang hasilnya terutama dinikmati oleh golongan-golongan elit.
Contoh daftar hak asasi yang memperhatikan konstelasi politis sekarang adalah Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang disepakati oleh sidang umum pertama Regional Council On Human Rights In Asia pada tanggal 9 Desember 1983. Sedangkan pada tahun 80-an ancaman baru muncul di cakrawala, yaitu pengadministrasian total manusia oleh negara birokratis melalui komputerisasi masyarakat yang barangkali akan merangsang suatu perkembangan paham hak-hak asasi baru.(t.u/ffk)