Berapa usiamu sekarang, kalau kau tidak tahu berapa usiamu sebelumnya
SATCHEL PAIGE
tagarutama.com – Satu hal yang sudah jelas. Jika kita menikah dengan laki-laki yang usianya jauh lebih tua dari kita, seorang laki-laki yang tinggal selangkah lagi dari ulang tahunnya yang kelima puluh, maka topik mengenai memiliki anak lagi bukanlah topik yang dengan wajar muncul dalam obrolan kita.
Ini adalah sebuah kisah dari kehidupan rumahtangga pasangan yang jarak usia pasangannya terlampau jauh. Enam anaknya, dan tiga anakku, dari pernikahan kami terdahulu sudah cukup memberikan kedewasaan dalam berumah tangga. Tetapi kejutan itu hadir!.
Saat tes kehamilanku dinyatakan positif, aku ragu-ragu memberitahu Raimond. Ragu? Bukan. Aku ketakutan. Bagaimana caranya menyampaikan kepada seorang laki-laki yang sudah memimpikan masa pensiun dini bahwa dia akan memulai lagi perjalanan membesarkan anak selama delapan belas tahun?
Aku menyampaikan kabar itu nyaris seperti seseorang yang meminta maaf. Namun, dari caranya merespons, kau akan mengira Raimond laki-laki berusia 50 puluh tahun yang sudah menanti-nanti kehadiran anak pertamanya. Sore itu juga dia pergi ke toko membeli cerutu dan membagi-bagikannya kepada teman-temannya.
Mungkin, dia teringat bagaimana seorang bayi membuatnya merasa muda kembali. Atau, mungkin, dia mengira bahwa kehadiran anak akan membuat pernikahan kami lebih kokoh. Mungkin juga dia baru saja menonton Film lama yang dibintangi Lucille Ball, Yours, Mine and Ours. Dan mungkin dia sekedar karena masih mampu menjadi seorang ayah. Apa pun alasannya, Raimond-ku tersayang mengentakkan kaki di atas bunga-bunga mawar dengan cengiran di wajahnya saat aku memberitahukan kabar kehamilanku.
Baca juga: Trend Nikah di KUA, Murah dan Anti Ribet
Baca juga: Tangan-Tangan Penggenggam
Selama dua setengah tahun pertama dalam pernikahan kami pekerjaan Raimond mengharuskannya tinggal di Kutai Sebrang sepanjang pekan, sementara aku dan tiga anakku tinggal di Samarinda. Tentu saja, kami bersama-sama di akhir pekan, tetapi saat aku mengandung, hatiku pedih ketika mengetahui bahwa jadwal persalinan di rumah sakit setempat hanya diadakan pada selasa malam. Raimond tidak pernah menyaksikan kelahiran anaknya, dan aku ingin dia bisa mendapatkan pengalaman luar biasa saat seorang bayi muncul di dunia. Namun, jika dia tidak pernah muncul, para perawat rumah sakit akan menganggapnya tidak mampu berada di ruang persalinan nanti.
Tanpa rasa gentar membayangkan berkilo-kilometer dan tiga jam perjalanan yang memisahkan kami, Raimond dengan penuh was-was mendaftarkan untuk persalinan seorang diri di sebuah rumah sakit besar di Samarinda. Di sanalah dia, berusia 51 tahun, ayah enam anak dan kakek enam cucu, dengan rambut abu-abu di pelipis, duduk sendirian di lantai, minggu demi minggu, belajar caranya menghirup dan mengembus, menghirup dan mengembus. Dia bahkan harus berbicara pada teman-temannya untuk meyakinkan mereka bahwa dia memang punya seorang istri yang tengah mengandung.
Saat Andrew lahir, Raimond bertindak layaknya seorang juara. Dia mendampingi dan menyemangatiku selama proses persalinan. Di ruang persalinan, dia melakukan segalanya, kecuali mengeluarkan bayi itu. Dia bahkan membujuk dokter agar diizinkan memotong tali pusar bayi.
Bagi seorang laki-laki yang dulu berjalan hilir mudik di lorong rumah sakit dengan kepala berdenyut-denyut saat anak-anaknya lahir, aku merasa sangat bangga atas teknik-teknik persalinan yang Raimond tunjukkan. Dia menggendong putra kami, berpose untuk difoto, dan menyambung ikatan dengan Andrew di menit-menit pertama kelahirannya.
Seiring dengan pertumbuhan Andrew, aku memperhatikan bahwa meskipun Raimond tidak berguling di lantai dan bergulat dengan putra bungsunya sesering yang mungkin dilakukan seorang laki-laki yang lebih muda, dia dan Andrew memelihara kedekatan yang mereka miliki sejak awal.
Raimond juga berhasil melalui masa-masa sulit pada usia dua tahun dan tiga tahun yang penuh kerewelan dengan lebih baik ketimbang diriku.
Mungkin, kebijaksanaannya sebagai seorang kakeklah yang mengingatkan Raimond bahwa semua tahapan, betapa pun buruk, akan berlalu. Raimond juga masih ingat masa-masa ketika anak-anaknya kecil dahulu. Menopang kehidupan enam anak dengan usia di bawah sebelas tahun di era 1980-an, dengan gaji guru sebesar sekitar Rp 500.000 setahun, membuat perutnya sakit. Namun, sebagai kepala sekolah yang baru saja dilantik, dia tidak perlu mengkhawatirkan apakah upah kerjanya akan dapat menutupi biaya makan.
Saat Andrew mulai bersekolah, ayahnya sedang memasuki fase baru dalam kehidupannya. Potongan harga untuk penduduk lansia. Namun, di luar usianya yang menua, dia tidak pernah punya kesulitan bergaul dengan generasi yang lebih muda. Di musim panas, dia dan Andrew mengunjungi kebun binatang, berialan-jalan menyusuri danau, dan bermain tangkap bola. Di musim dingin Raimond menunjukkan Andrew manfaat-manfaat bagi anak jika bersedia menggosok punggung dan kaki di depan televisi. Hadiah bagi Andrew, biasanya, berupa semangkuk besar berondong jagung, serta izin menaiki punggung Raimond untuk diantar ke tempat tidur.
Tentunya, ada hari-hari ketika Andrew seolah-olah ingin menguji kebaikan hati Raimond. Seperti ketika dia mengeluarkan gitar dan set drum mainan saat permainan bisbol sedang ditayangkan di televisi, atau saat Raimond sedang menonton film lama kesukaannya. Atau ketika energi dan efek-efek suara Andrew yang sedang bermain menembus batas toleransi keributan. Tetapi, masa-masa ini adalah periode sama yang membuatku kewalahan menghadapi Andrew. Jadi, dalam hal ini, usia Raimond tidak berpengaruh.
Ada kalanya, Raimond merasa begitu mendambakan masa pensiun. Banyak rekan-rekannya yang berencana pensiun dalam empat atau lima tahun mendatang. Mereka berbincang tentang rencana perjalanan dan menjalani kehidupan yang lebih santai. Kata-kata seperti kondominium, Sun City, dan van pribadi mewarnai obrolan mereka. Namun, itu bukan Raimond. Mendekati usia enam puluh, dia masih menghadiri pertandingan Little Leagues, pelajaran musik, pertemuan guru dan orang tua murid, serta dokter gigi. Sering kali, jika Raimond bertemu dengan teman lama, pembicaraan mereka akan berlangsung seperti ini:
“Anak ini cucumu ya, Ray?,”
“Bukan, ini Andrew, anakku.”
Oh ya? Heh, heh, heh.”
Raimond hanya tertawa. Ada kalanya dia tertawa begitu keras hingga mengeluarkan air mata. Dan ada kalanya dia bertanya, “Tuhan, kenapa harus aku?”.
Apa pun harus kukatakan bahwa laki-laki berusia lima puluh tahunan itu sudah pasti akan dapat menjadi seorang ayah tanpa banyak bertanya apakah dia bisa menjalaninya. Raimond selalu mengingat sebuah ujaran kuno yang berbunyi, “Usia adalah masalah pikiran. Jika tidak kaupikirkan, maka tidak masalah.”(tg.02)