tagarutama.com – Modernisasi sebagai sebuah keniscayaan yang juga berpengaruh pada kehidupan keberagamaan bangsa kita, khususnya umat Islam. Sejak awal abad 20, muncul berbagai organisasi dan pola-pola baru dalam keberagamaan umat Islam. Kaum pembaharu Islam atau kaum modernisasi muncul di berbagai daerah. Termasuk pola modernisasi Islam di dalam dunia pendidikan, bahkan pesantren juga dianggap perlu untuk dimodernisasi dan menyesuaikan dengan pola pendidikan baru. Modernisasi juga nampak pada pola pengurusan di dalam umat, kesadaran berorganisasi, keterbukaan terhadap sains dan ilmu Barat serta kesadaran politik yang semakin tinggi. Dalam modernisasi Islam di Indonesia itu, kita tak bisa alpa menyebut satu nama Mohammad Natsir.
Profil M. Natsir
Muhammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, pada tanggal 17 Juli 1908. Natsir lahir dari keluarga Minangkabau yang taat dalam menjalankan ajaran agama Islam. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado dan ibunya bernama Khadijah.
Awalnya ayah Natsir bekerja sebagai juru tulis di kantor kontroler di Maninjau, namun tahun 1918 ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan sebagai sipir.
Natsir memulai pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun. Belum menyelesaikan pendidikan di SR, Natsir kecil sudah pindah ke Hollandsche-Inlandsche School (HIS) atau sekolah Belanda untuk pribumi di Adabiyah, Padang. Namun karena kondisi ayahnya yang bertugas jauh di ujung pandang Natsir harus pindah lagi ke Solok, dan dititipkan kepada seorang saudagar bernama Haji Musa.
Seperti halnya anak-anak seusianya di Minangkabau, Natsir bersekolah di HIS Solok pada pagi hari, dan malam harinya mengaji di Madrasah Diniyah. Pada tahun 1923, Natsir melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Di sini dia mulai aktif dalam kegiatan organisasi. Lulus dari MULO, Natsir merantau ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) dan lulus tahun 1930.
Perjalanan Mengenal Dakwah
Pola Pikir Natsir tidak terlepas dari orang yang ada disekelilingnya. Orang yang sangat berperan dalam menanamkan nilai-nilai islam adalah Ahmad Hasan Guru yang dikenalkan oleh sahabatnya Fachroeddin di AMS (Algeme Middlebare School-sekolah setingkat SMA).
Fachroeddin adalah anak AMS yang rajin datang ke pengajian Persatuan Islam (Persis). Hingga suatu hari Natsir diajak Fachroeddin berkenalan dengan sang guru Persis bernama A. Hasan.
Gaya mengajar A. Hasan tidak seperti guru tradisional lainnya yang hanya menerima fatwa-fatwa guru. Mereka lebih banyak berdiskusi membahas kasus-kasus.
Terkadang A. Hasan tidak langsung menjawab pertanyaan yang diberikan para muridnya, sang guru hanya meminjamkan kitab-kitab miliknya agar mereka menelaah dan menganalisa sendiri jawabannya, tentunya dengan bimbingan dari A. Hasan.
Untuk menahan gempuran pemikiran-pemikiran yang mencoba menghancurkan islam Natsir bersama sang guru A. Hasan mendirikan Majalah yang diberi nama Pembela Islam.
Sejak mendalami Islam bersama A. Hasan, Natsir mulai sadar bahwa pendidikan yang ia geluti selama ini membuat mereka jauh dari agama yang dianutnya.
Politik Etis yang lahir di akhir abad 19 oleh Pemerintah Kolonial memang melahirkan sekolah-sekolah yang bertujuan untuk mendidik para pribumi menjadi tenaga ahli alat-alat industri dan perangkat pegawai pemerintahan.
Pendidikan yang diajarkan jauh dari nilai-nilai agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat. Ada kalanya dalam proses belajar mengajar ajaran Islam direndahkan. Bahkan, para siswa AMS lebih tertarik bergaya dan berbudaya kebarat-baratan dari pada budaya tanah airnya.
Begitu juga ketika pada berbahasa. Belajar dengan bahasa Belanda terlihat lebih intelektual dari pada menggunakan bahasa melayu (bahasa Indonesia saat itu). Proses sekulerisasi yang terjadi menyadarkan Natsir bahwa ada tantangan dakwah yang harus ia hadapi.
Pengalaman Natsir semakin kaya setelah persentuhannya dengan Sukarno yang ketika itu sama-sama tinggal di Bandung. Natsir sempat berpolemik dengan Sukarno mengenai persoalan poligami.
Persentuhan ini dapat dipandang sebagai awal perdebatan yang kelak menjadi lebih rumit antara kaum nasionalis dan kaum Islam, antara Islam dan kemoderan.
Pandangan Modernisasi Islam
Pola pendidikan yang dilalui M. Natsir ialah pola yang mengumum di kalangan pembaharu Islam. Pada satu sisi Natsir muda belajar di sekolah Belanda, tapi di saat bersamaan ia pun mengaji kepada tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Ilmu dilihat sebagai sesuatu yang terdiri dari dua sisi. Umat Islam dituntut untuk menguasai “ilmu-ilmu umum”, sains dan humaniora yang berkembang dan dikembangkan oleh peradaban Barat, melalui saluran sekolah-sekolah formal.
Ilmu-ilmu ini pada masa itu dipandang sebagai sesuatu yang bebas nilai. Sementara itu, selain penguasaan “ilmu-ilmu umum”, umat Islam pun dituntut untuk menguasai “ilmu-ilmu agama”. Akan tetapi “ilmu-ilmu agama” yang berkembang ketika itu dipahami sebagai ilmu-ilmu yang secara langsung berhubungan dengan al-Qur’an dan Sunnah beserta turunannya seperti fiqih dan akidah.
Pandangan semacam ini pula yang kemudian dianut Natsir ketika mengembangkan pendidikan partikelir di Bandung pada tahun 1930-an.
Selepas lulus AMS putra Minang ini memang tak melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Bukan tak ada tawaran atau tak mampu, tetapi ia lebih memilih untuk mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan. Ia lebih memilih untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan partikelir yaitu Pendidikan Islam atau disingkat Pendis.
Pendis ialah sebuah ikhtiar untuk menggabungkan penyelenggaraan pendidikan umum dan pendidikan agama dalam satu lembaga. Setiap peserta didik mendapat dua pendidikan itu dalam satu sekolah. Ini ialah semacam uji coba awal dalam pembangunan pendidikan Islam di Indonesia.
Pandangan Natsir mengenai Islam dan kemodernan tersebut terus berkembang menemani kiprahnya sejak menteri penerangan hingga perdana menteri. Juga ikhtiar juangnya selepas era Sukarno amat kental dengan pandangan semacam ini. Islam ia pandang sebagai sesuatu yang harus bersesuaian dengan pola hidup modern. Islam dapat hadir dalam segala aspek kehidupan.
Islam ditempatkan sebagai sesuatu yang tak ketinggalan zaman. Dalam waktu bersamaan ia pun berusaha untuk menjadikan Islam sebagai pengobat segala penyakit yang ditimbulkan oleh modernitas, seperti keterasingan diri dan masalah-masalah moralitas.
Natsir menempatkan Islam sebagai sesuatu yang dapat bersesuaian dengan modernisme dan sekaligus dapat menjadi jalan keluar dari persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh modernisme itu sendiri.
Selain itu, hal-hal yang dianggap bertentangan dengan Islam dan sekaligus modernitas ia tentang habis-habisan. Natsir dikenal amat gencar menyanggah takhayul, khurafat dan bid’ah. Baginya hal-hal semacam itu dapat melunturkan daya gugah Islam dan menggiring umat pada lelangutan yang melenakan.
Di dalam bukunya, Islam dan Akal Merdeka, pandangan Natsir tersebut amat kentalnya dipaparkan. Ia amat menghormati akal (rasio) tetapi menempatkannya sebagai penyelesai persoalan duniawi. Sementara hal-hal ibadah musti ditimbang berdasarkan keyakinan. Dan akal merdeka yang dibimbing oleh agama tentu akan menentang hal-hal takhayul, khurafat dan bid’ah itu.
Di buku ini ternyata jelas Natsir hendak mengintegrasikan akal dengan agama (Islam). Keduanya tidak perlu dipertentangkan melainkan harus diharmoniskan dengan menempatkannya pada kedudukan masing-masing.
Baca juga: UU Cipta Kerja Merugikan Buruh dan Pekerja, Fraksi PKS : UU Cipta Kerja Menyalahi UUD 1945
Baca juga: Ujian Demokrasi menuju 2024, Proporsional Tertutup adalah kumunduran Demokrasi yang harus dihentikan
Di dalam sebuah pidatonya berjudul “Pesan Islam terhadap Orang Modern” (disampaikan pada Musyawarah Ummat Islam di Karachi dan Islamabad pada Maret 1976), Natsir nampak lebih serius memandang Islam dan kemodernan.
Mengutip Professor Alex Inkeles dari Universitas Harvard, Natsir menyebut 9 ciri manusia modern: 1) Kebersediaan dan keterbukaan pada pengalaman dan perubahan baru; 2) Keberanian berpendapat secara demokratis; 3) berorientasi pada masa kini dan masa depan; 4) Keterlibatan pada organisasi modern; 5) percaya bahwa manusia dapat menguasa alam; 6) yakin bahwa dunia dapat diperhitungkan; 7) sadar akan martabat diri dan orang lain; 8) lebih yakin kepada ilmu dan teknologi; dan 9) Berpahak kuat pada keadilan yang merata.
Bagi Natsir seluruh kualitas manusia modern tersebut telah terkandung dalam ajaran Islam. Oleh karena itu seorang muslim tidak perlu menjadi orang sekuler untuk menjadi modern. Ikhtiar Natsir untuk mengintegrasikan Islam dan modernitas ialah jalan panjang yang tertuang dalam banyak peristiwa dan catatan. Hingga ia wafat pada 6 Februari 1993, jalan Natsir ialah jalan modernisme Islam ini. Ia selalu yakin bahwa Islam bersesuaian dengan semangat modern sekaligus dapat menjadi penyembuh dari beragam penyakit yang disebabkan modernitas.
Konsep dakwah Natsir terlihat jelas dalam karya monumentalnya yang bertajuk, Fiqud Da’wah. Dalam buku tersebut sarat akan konseptual pandangannya tentang dakwah Islam. Natsir kemudian memaknai Islam sebagai suatu agama dakwah. Dakwah dalam arti amar makruf nahi mungkar adalah syarat mutlak bagi kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat.
Natsir memberikan manfaat bagi negara dan umat Islam. Banyak yang telah dilakukan Natsir yang telah membawa pembaruan di beberapa aspek. Namun sayangnya, sosok Natsir jarang diketahui masyarakat Indonesia. Mengingat namanya sangat minim disebut dalam pelajaran sejarah.
Politik dan Konflik
Begitu pula dalam pemikiran Natsir terhadap politik, Dalam buku M Natsir di Panggung Sejarah Republik, menggambarkan pemikiran Natsir dalam politik. Natsir menganggap dalam berpolitik jangan oportunis. Berpolitik itu harus ada landasan etiknya. Landasan etik harus didirikan dulu, jangan sesuai mana yang enak. Berpolitik harus didampingi dengan landasan etika yang benar.
Istilah modernisasi politik Islam digunakan Natsir untuk mewakili sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi serta menyesuaikannya dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia. Dengan istilah politik seperti itu, Natsir mewajibkan setiap umat Islam untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.
Terhadap orang yang tidak sepaham terhadap pemikiran yang dibawa Natsir pun terjadi pertentangan.
Tragedi sejarah yang menyudutkan Natsir dan menghasilkan banyak pertanyaan sejarah mengenai alasan sebenarnya di balik maksud Natsir. Tragedi tersebut terjadi ketika Natsir bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dituding telah memberontak kepada Pemerintah Sukarno.
Sukarno menganggap gerakan ini sebagai pemberontak. Dia mengirimkan tentara untuk melawan gerakan ini. PRRI kalah, Natsir menyerah dan dipenjara Sukarno. Partai Masyumi yang pernah dipimpinnya juga dibekukan. Padahal dalam Pemilu 1955, Masyumi menduduki posisi nomor dua.
Mengutip pendapat Burhan D Magenda dalam “Tiga Periode Natsir” pada buku M Natsir di Panggung Sejarah Republik”, ia menuturkan, sebenarnya dalam PRRI itu ada tuntutan otonomi daerah. Itu baru terwujud dalam era reformasi. Presiden BJ Habibie melahirkan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan. “Kalau undang-undang tersebut lebih dulu lahir, mungkin bisa dicegah lahirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” katanya.
Natsir ditahan di Batu Malang, Jawa Timur dan terakhir di Rumah Tahanan Militer Keagungan Jakarta, sejak 1962 sampai 1966. Sukarno tumbang, namun tidak serta merta Natsir dibebaskan oleh Soeharto. Natsir dibebaskan dari penjara 26 Juli 1966.