Pahlawan Devisaku

Penulis : RIZKI BABY AGUSTIN S.Psi

tagarutama.com, Banyuwangi – Banyuwangi, kota indah di ujung Jawa Timur. Mungkin tidak asing lagi dengan Kota ini, karena setiap wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Bali pasti melewati kota ini. Tari gandrung, menjadi tarian khas Kota Banyuwangi yang selalu menjadi tarian wajib saat upacara resmi dan acara adat, seperti pernikahan, karnaval, syukuran, menyambut tamu, dll. Tari ini biasa dilakukan oleh beberapa orang perempuan dengan menggunakan baju adat Banyuwangi, yaitu kemben, selendang, dan mahkota di kepala. Perempuan-perempuan ini juga memakai riasan di wajah agar terlihat anggun dan cantik saat menari.

Menari tarian Gandrung merupakan sebuah kebanggaan tersendiri, hingga anak-anak kecil sudah terbiasa berlatih tarian tersebut di sebuah sanggar tari. Seperti gadis cilik ini, kita panggil saja Kia, dalam sepekan Kia biasa berlatih menari di sanggar dekat rumahnya, kurang lebih jaraknya satu kilo km, ia duduk di bangku kelas 2 SD, karena masih kecil maka ia tak berangkat sendiri, ia ditemani oleh kakaknya yang bernama Kiki yang sudah kelas 5 SD. Kemana-mana mereka berdua selalu bersama karena orang tuanya mengajari mereka untuk hidup rukun dan saling membantu satu sama lain.

Baca juga: Kesehatan Mental Keluarga Sama Pentingnya Dengan Kesehatan Fisik

Kia dan Kiki, terlahir dari keluarga kecil yang sederhana dan apa adanya. Mereka tinggal disebuah kontrakan yang itu adalah bekas sekolah yang sudah lama tak terpakai, banyak yang bilang disitu angker, tapi mereka tak peduli karena harganya lbih murah daripada kontrakan di tempat lain. Ayah mereka adalah seorang tukang becak yang penghasilannya tak menentu, kadang tiga ribu, kadang lima ribu per hari. Ibu mereka berusaha membantu ekonomi keluarga dengan menjual krupuk rengginang yang ditipkan pada warung-warung di sekitar rumah, untungnya pun sangat kecil hanya seratus rupiah per krupuk.

Banyuwangi, tahun 2002. Anda tidak salah baca, memang 2002 bukan 2022, peristiwa ini 20 tahun silam. Kiki saat itu duduk di kelas 5 SD, artinya tidak lama lagi akan naik kelas 6 dan akan masuk di jenjang SMP. Kiki sangat ingin masuk di SMP favorit di Kota itu, yaitu SMPN 1 Genteng, mreka sudah melihat dan memperkirakan biaya pendaftaran, kurang lebih 1,5 juta (biaya sekolah di Jawa memang mahal, ini bukan biaya menyuap tapi murni biaya masuk), biaya yang sangat mahal dan cukup tinggi. Kiki dan orang tua sangat ingin bisa sekolah disitu karena sekolahnya yang maju dan tidak jauh dari rumah, sementara sekolah lain lebih jauh kualitasnya tak sebagus di sekolah itu. Semua orang tua pasti memiliki harapan yang sama pada anaknya, anak harus lebih baik dari orang tuanya.

Melihat keadaan ekonomi yang pas-pasan Ibu Kiki memutar otak bagaimana caranya agar tetap bisa masuk di sekolah favorit dan tanpa hutang. Mencari kerja di Jawa sangat sulit, saingan pun begitu banyak, dengan berat hati Ibu Kiki memutuskan untuk menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Malaysia, Kiki sangat kaget mendengar hal itu, otomatis mereka harus berpisah jauh dengan ibunya. Tapi apa boleh buat, Pendidikan sangat penting untuk masa depan. Ayah Kiki dulu juga pernah menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di Negara Brunei selama 4 tahun, namun tidak membawa hasil yang baik.

Tangisan demi tangisan pecah saat Ibu Kiki berpamitan berangkat ke Malaysia, mereka masih terlalu kecil untuk ditinggal jauh oleh seorang ibu, tapi inilah pengorbanan dan perjuangan hidup seperti pil pahit yang harus tetap ditelan demi kesembuhan. Mereka hidup bertiga ditemani sang Ayah yang beralih profesi menjadi penjual nasi goreng untuk menambah penghasilan. Di Malaysia, Ibu Kiki menjadi seorang ART (asisten rumah tangga), Ibu Kiki sering menelpon lewat telepon duduk dan numpang di saudara, Ibu Kiki sering berkata tidak betah disana karena sangat merindukan Kia dan Kiki. Kia dan Kiki pun selalu menangis saat mendengar suara ibunya. Saat bekerja, ibu Kiki tidak selalu mendapat majikan yang baik, terkadang juga mendapat majikan yang memperlakukan seperti robot, tidak memberi waktu istirahat yang layak dan pekerjaan rumah yang begitu banyak.

Karena tak tahan dengan majikan tersebut, maka Ibu kiki memutuskan untuk kabur, ia tak Kembali pada Agency karena proses yang lama. Beruntung ia mempunyai satu kenalan disana yang membantunya, ia pergi di malam hari dengan membawa tas jinjing melewati hutan rimba yang gelap, berjalan diatas jembatan dari pohon kelapa, dan disambut gonggongan serigala yang mengerikan. Akhirnya dia sampai di rumah temannya tersebut, dan beberapa bulan kemudian dia Kembali ke Indonesia. Ibu Kiki membawa uang yang cukup untuk Kiki masuk SMP favorit.

Menjadi Pahlawan Devisa (TKW) tak membuat seorang ibu malu, jika itu untuk masa depan anaknya. Saat ini Kiki sudah berusia 30 Tahun dan sudah menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) berkat perjuangan, doa, dan air mata dari seorang ibu yang luar biasa. Berterima kasih pada seorang ibu tak harus menunggu hari ibu, tapi di momen special ini sangat baik untuk kita mengingat jasa dari seorang Ibu yang tanpanya kita takkan seperti ini sekarang. Ibu adalah sosok yang tak pernah berhenti memberi inspirasi.

Terima kasih ibu, bahagiaku hari ini karena doamu yang tak pernah putus untukku.

Kisah ini diangkat dari kisah nyata penduduk asli Kota Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *