Penulis : RIZKI BABY AGUSTIN S.Psi
Ketika ibu adalah pintu surga, madrasah pertama bagi anak, memiliki derajat tiga kali lebih tinggi daripada ayah, lalu bagamaina dengan ayah ? apakah ayah tak sepenting ibu ? tentu tidak. Karena ayah adalah pencetus pertama lahirnya seorang anak, tak mungkin seorang anak hanya memiliki “ibu tanpa ayah”. Memang ada yang ayahnya sudah meninggal, dan disebut anak yatim, tapi secara biologis seorang anak pasti berAyah. Maka ayah memiliki peran yang tak kalah penting dengan ibu.
Sebagai seorang pendidik saya melihat urgensi yang begitu besar tentang sosok ayah. Ayah memiliki peran yang sangat besar bagi pertumbuhan anak, baik fisik maupun psikis. Seorang ayah bekerja membanting tulang, tak mengenal waktu dan tempat demi memenuhi kebutuhan fisik anak, agar anak bisa makan dengan kenyang, tidak kekurangan gizi, bisa memiliki tempat tinggal yang baik, dsb. Namun, psikis seorang anak dibiarkan “kelaparan”. Kok bisa ? iya, karena jiwa sama dengan fisik, butuh asupan gizi agar bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.
Fisik dapat berkembang dengan baik jika diberi makanan yang sehat, bergizi, dan sesuai porsi. Begitu pula dengan psikis seorang anak, harus diberi makanan pula, apa makanan bagi jiwa anak ? kasih sayang, perhatian, komunikasi, waktu, model yang baik (contoh), pendidikan karakter, dll. Hal ini yang harus menjadi perhatian seorang ayah dan dilakukan sendiri oleh ayah, bukan hanya ibu.
Seringkali seorang ayah menilai bahwa tugasnya hanyalah mencari nafkah, padahal ini belum tepat. Karena anak juga berhak mendapatkan “Makanan jiwa” dari ayah, bukan hanya dari ibu. Meskipun seorang ibu sudah sangat baik dalam memberikan pengasuhan dan kasih sayang.
Saya selalu mengamati banyak anak remaja yang sering melanggar peraturan, mengalami kenakalan remaja dan susah untuk dimbimbing oleh guru di sekolah, dikarenakan tidak adanya sosok ayah dalam hidupnya. Bahkan bukan hanya anak remaja, orang dewasa pun juga demikian.
Tidak adanya sosok ayah ini terbagi menjadi dua, yang pertama karena ayahnya meninggal, yang kedua karena orang tuanya telah berpisah (broken home) dan tinggal dengan ibu. Saya tidak mengatakan bahwa anak korban “broken home” selalu gagal, tidak, tapi anak korban “broken home” memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi anak yang butuh bimbingan khusus. Anak korban “broken home” cenderung bermasalah karena telah memiliki problem dalam keluarganya. Berbeda dengan anak yatim, dia juga tidak memiliki ayah, tapi tidak ada problem dalam keluarganya sehingga tidak berdampak buruk pada jiwanya.
Dari kasus ini kita banyak belajar bahwa bagaimana sosok ayah memiliki tingkat urgensi yang sangat tinggi. Ayah benar-benar tidak bisa “cuci tangan” terhadap perkembangan anak. Kita dapat melihat contoh kisah yang sudah sangat familiar, yaitu kisah Nabi Nuh dengan putra pertamanya Kan’an Ketika di kapal, dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa Kan’an adalah anak yang tidak beriman kepada Allah dan menyelisihi ayahnya yaitu Nabi Nuh. Hingga saat terjadi banjir besar, Kan’an tetap tidak mau mengikuti ajakan ayahnya untuk ikut ke kapal, dan akhirnya dia pun tenggelam.
Kisah ini ada pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233. Yang artinya, “ Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir”. Kisah tersebut mengisahkan bahwa Nabi Nuh mengajak putranya naik ke atas kapal, namun putranya menolak, Nabi Nuh terus dan terus mengajak tapi lagi lagi putranya tetap menolak, meski air sudah sangat tinggi. Putranya tetap bersi kukuh dan berusaha memanjat sebuah pohon yang tinggi dengan harapan air tak bisa menenggelamkannya. Dan akhirnya putra Nabi Nuh pun tenggelam, disinilah Allah menunjukkan bahwa dia termasuk golongan orang-orang yang kafir, karena Allah telah berjanji baranagsiapa yang beriman padaNya akan selamat dari air bah.
Kisah diatas menorehkan makna yang mendalam, secara psikologis terlihat adanya unconditional love (cinta tak bersyarat) antara Nabi Nuh sebagai seorang Ayah pada putranya. Ketika penolakan demi penolakan terjadi, Nabi Nuh tetap sabar dan penuh kasih sayang memanggil dan mengajaknya naik ke atas kapal.
Hikmah lainnya, bagaimana idealnya seorang ayah tak boleh putus asa dalam mendidik anaknya. Apapun yang terjadi seorang ayah harus terus menerus memberikan contoh yang baik, menasehati, bahkan perlu “memarahi” si anak jika sudah melewati batas. Sebagaimana Nabi Nuh tak menyerah mengajak anaknya naik kapal meski air sudah hampir menenggelamkan putranya.
Kesabaran memang mudah dikatakan namun sulit aplikasinya. Banyak orang tua yang tak sabar membimbing anaknya saat si anak sering melanggar aturan, banyak yang mengatakan “sudahlah terserah dia, saya sudah tidak sanggup mengurusnya”, ini adalah kalimat pantangan yang tak boleh dikatakan oleh seorang ibu ataupun ayah. Karena anak adalah amanah dan fitnah, yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak.
Semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita. Bisa memberi Pendidikan yang baik dan menjadi tauladan yang baik, meski tidak ada ayah yang sempurna, tapi kita berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi yang terbaik.
3 komentar