Pasca reformasi partai politik tampak masih tidak berjalan secara ideal. Memasuki musim politik menuju 2024 ternyata Partai politik di mata publik memiliki citra yang kurang baik. Ini terjadi karena partai politik belum mampu memainkan dan menjalankan fungsi-fungsi partai politik yang dimiliki secara optimal.
Partai-partai politik tidak mempunyai kemampuan untuk mengerahkan dan mewakili kepentingan warganegara maupun dalam menggabungkan warganegara dengan pemerintahan.
Oleh karena itu memicu munculnya kritikan dari publik. Keberadaan partai politik di era reformasi ini tidak berbanding lurus dengan fungsi yang diembannya. Artinya, keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat berbanding terbalik. Partai politik yang ada begitu mengecewakan rakyat. Mereka tidak maksimal memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, melainkan sebaliknya lebih dominan memperjuangkan partai, kelompok, dan kepentingan pribadi.
Berdasarkan hal tersebut, maka alih-alih partai politik memperjuangkan kepentingan rakyat, atau paling tidak konstituennya, malah yang terjadi sebaliknya dimana partai politik cenderung sibuk memperebutkan kekuasaan, jabatan dan uang. Sementara persoalan yang membelit rakyat dibiarkan begitu saja, seperti ketidakadilan, kemiskinan, ketidaksamaan serta ancaman rasa takut akan konflik horizontal maupun vertikal.
Partai politik juga memiliki citra buruk di mata publik. Merujuk pada Survei dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIP) menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi masih besar. Dalam survei yang sama, kepercayaan publik terhadap partai politik relatif terpuruk.
Penilaian publik terhadap sistem demokrasi yang berjalan di Indonesia diterima positif oleh 73 persen responden yang berjumlah 2.100 orang dari 34 provinsi. Mereka menilai demokrasi lebih baik dari bentuk pemerintahan lainnya. Akan tetapi, publik masih kurang percaya pada partai politik, tingkat kepercayaan terhadap Parpol masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat persepsi publik terhadap sistem demokrasi.
Baca juga: Level Posisi Indeks Demokrasi di Papua Barat
Rendahnya ketidakpercayaan publik terhadap partai politik sangat beralasan. Sekurangnya, paling tidak, ada beberapa masalah yang harus diperhatikan berkaitan dengan partai politik di Indonesia saat ini. Pertama, partai politik belum menjadi institusi publik yang memiliki tanggung jawab atau akuntabilitas terhadap pemilihnya.
Pada masa Orde baru, partai politik menjadi “mesin politik penguasa sehingga partai politik lebih diarahkan pada kepentingan pelanggengan kekuasaan penguasa (status quo). Ketika memasuki era reformasi, partai politik seakan kaget dengan tuntutan masyarakat yang besar, namun tidak disertai dengan kelembagaan yang baik.
Lemahnya kelembagaan partai politik ini menyebabkan kemunduran bagi masa depan demokrasi. Berangkat dari fenomena penurunan citra partai politik di atas, ini menandakan ada persoalan serius yang penting untuk disikapi oleh partai politik di Indonesia karena berkaitan dengan kelangsungan hidup dari demokrasi bangsa ini.
Bagaimana caranya partai politik mampu menjalankan fungsi-fungsi partai secara kelembagaan dan mengembalikan citra partai yang positif di mata publik. Bisa jadi, jika ada peningkatan partisipasi pada pemilihan presiden pada tahun 2014 dan 2019, bukan berarti karena membaiknya citra kelembagaan para politik, tapi karena kekuatan tokoh atau figure yang diusung partai politik menstimulasi munculnya hope (harapan) publik.
Kedua, partai politik terjebak dalam pusaran personalisasi dan oligarkis dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kecenderungan selama ini menunjukkan pengambilan keputusan partai politik bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit partai. Persoalan mekanisme internal dalam pembuatan keputusan dicirikan dengan dengan sentralisasi dalam pengambilan keputusan.
Peran pengurus pusat sangat dominan, dan terkadang berbeda dengan aspirasi daerah. Berbeda dengan oligarki yang berupa proses sekelompok kecil elite memperoleh kekuasaan, maka personalisasi lebih kepada kondisi, ketika seorang individu politikus menjadi lebih berpengaruh dan menonjol di hadapan publik dibandingkan dengan partai politik dan atau organisasi-organisasi kolektif lainnya.
Personalisasi dalam hal ini adalah suatu kondisi yang ajeg tentang sangat berpengaruhnya seorang individu elite, bukan mengenai proses mendapatkan kekuasaan dan bukan tentang sekelompok elite. Meskipun berbeda makna dengan oligarki, personalisasi politik dapat menjadi situasi pendukung yang menciptakan atau memperkukuh oligarki politik (Budiarti, 2018).
Ketiga, mahar politik. Praktek mahar politik nampak jelas pemilu sebagai pembentukan koalisi yang cenderung mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan berbagai pihak terkait langsung daripada kepentingan publik. Hasilnya demokrasi gagal dalam meningkatkan kehidupan politik, juga jauh dari proses penguatan literasi politik warga negara. Model demokrasi dengan mahar politik berdampak pada integritas dan kredibilitas pemilu yang diragukan oleh masyarakat serta berakibat menurunnya animo masyarakat pada pelaksanaan pemilu.
Baca juga: Pemilu sebagai Ajang Pertarungan Gagasan, Masyarakat di Tuntut Bijak Memilih.
Sudah menjadi rahasia umum, untuk memenangkan pemilihan menjadi calon kepala daerah yang diusung partai, para bakal calon kepala daerah akan berkompetisi untuk menarik perhatian partai politik dengan memberikan mahar politik yang sangat besar sebagai ongkos untuk lanjut berpartisipasí dalam pemilihan umum.
Oleh karena itu, maraknya fenomena pemberian mahar politik kepada partai politik, sesungguhnya telah melanggar pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan menerangkan bahwa partai politik dilarang untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan,
Keempat, politik uang, seiring dengan penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang, money politics atau politik uang ternyata menjadi elemen kunci mobilisasi elektoral di banyak demokrasi oleh partai politik.
Studi Andrews dan Inman tentang perilaku pemilih di tujuh negara Afrika yang paling demokratis, menurut Freedom House, misalnya menemuk fakta adanya jual beli suara. Dengan menggunakan data survey Afrobarometer Tahap 3 tahun 2005, mereka menemukan Ghana adalah negara paling rentan mengalami praktik politik uang dan jual beli suara dengan kisaran 42 persen warganya yang mengakui ditawari uang atau hadiah sewaktu pemilu (muhtadi, 2013). Lalu, bagaimana politik uang di Indonesia?
Tidak dapat dimungkiri bila demokrasi di Indonesia, khususnya di arena pemilu, masih banyak diwarnai oleh politik uang. Pemberian uang tidak saja merajalela saat kontestasi pemilu, namun pada saat proses pemilihan kepala desa pun masih banyak ditemui.
Singkatnva dari kontestasi tingkat bawah hingga atas, uang dijadikan seniata pamungkas untuk mendulang suara. Padahal cara-cara seperti ini merupakan upaya merendahkan martabat manusia, bangsa, dan negara.
Melalui politik uang, rakyat dikapitalisasi oleh para elite politik dengan tujuan untuk memenangkan partai politik maupun kandidat saat mereka berkontestasi dalam demokrasi elektoral yang sangat mahal (Andi Faisal, 2016).
Kasus mahar politik dan politik uang, jika dikorelasikan dengan teori pertukaran sosial, bahwa hubungan antar manusia dibentuk oleh analisis untung-rugi subyektif dan perbandingan dari berbagai alternatif yang tersedia. Asumsi teori ini membuat sifat hubungan saling kebergantungan dan hidup berhubungan adalah proses.
Hubungan yang positif adalah hubungan yang memiliki nilai angka positif yaitu keuntungan yang lebih besar daripada kerugian (Turner, 2017). Oleh karena itu, fenomena mahar politik dan politik uang merupakan sebuah proses pertukaran yang saling menguntungkan, sehingga kedua belah pihak merasakan pertukaran berupa uang dan mahar politik.
Baca juga: Transaksi Oligarki, Bahaya Bohir bertebaran di Tahun Politik
Pilkada dan pemilu masih dihiasi dengan kekuatan kapital sehingga persuasi pemilih lebih melihat persoalan materi baik dalam pengusungan calon oleh partai politik maupun dukungan oleh publik dalam kontestast demokrasi elektoral.
Kelima, korupsi politik. Banyaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh elite partai politik atau kepala daerah mengakibatkan bangsa ini mengalami kendala dalam menghasilkan demokrasi yang ideal. Transparency International membuat peringkat dari 180 negara dan menilai mana saja yang mempunyai potensi korupsi yang terbesar, dan tak berpotensi korupsi. Indikatornya ditunjukkan dengan skor 0 sampai 100. Semakin besar skor yang didapat, maka semakin besar pula kemungkinan negara tersebut bersih dari praktik korupsi.
Dalam laporan tahunan Transparansi Internasional Selandia Baru berada di puncak negara paling tidak korup, sementara di ujung yang berlawanan ditempati Somalia. Indonesia berada di peringkat ke-96 bersama Brasil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia. Menurut data tersebut, tingkat korupsi di Indonesia sangat tinggi.
Meminjam tulisan Prof. Azyumardi Azra di Kompas pada Kamis 8 Agustus 2019, tulisan Azra menyoroti bahwa pejabat publik tidak kapok korupsi. Apa yang terjadi akhir-akhir ini, Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, terkena operasi tangkap tangan KPK, 26 Juli 2019. Tamzil tidak kapok korupsi setelah bebas bersyarat pada Desember 2015 dari hukuman penjara 1 tahun 10 bulan. Ia terbukti korupsi dana prasarana dan sarana pendidikan saat menjabat Bupati Kudus 2003-2008.
Namun bukan hanya Tamzil yang tidak kapok, partai politik juga tak kapok mengusung bekas koruptor menjadi calon bupati. Parpol seharusnya dapat menemukan calon-calon pemimpin berintegritas, bukan malah kembali mencalonkan bekas koruptor menjadi bupati.
Jika parpol tidak selektif dan asal mencalonkan seseorang karena alasan kedermawanan sosial dan mahar politik, maka parpol hanya bisa mencetak calon-calon koruptor masa depan. Maka dari itu yang tak kurang penting, koruptor dan calon koruptor harus dibuat kapok dengan cara menghilangkan sikap kompromi dan longgar aparat penegak hukum terhadap koruptor.
Merujuk dari pelbagai masalah partai politik di atas, pada akhirnya mengakibatkan kerja parpol juga belum bisa dirasakan oleh publik dan juga kedekatan partai politik ke masyarakat secara emosional masih kurang. Kedekatan publik terhadap parpol sangat rendah, Party ID (identification) rata-rata di bawah 20 persen.
Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga Saiful Mujani Researceh and Consulting (SMRC), hanya 11 persen warga Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai yang diyakininya. SMRC menilai kondisi itu membuat pemilih partai setiap tahun mengalami fluktuasi.
Dari data survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut mengindikasikan ketidakpercayaan publik terhadap partai politik. Kemudian juga diperkuat dengan berbagai persoalan partai politik yang sangat lamban berbenah diri untuk memungsikan sebagaimana lembaga infrastruktur politik. Oleh karena itu, fenomena penurunan kepercayaan publik terhadap partai politik menjadi sebuah wacana yang menarik ditelaah dalam diskusi rutin The Political Literacu Institute. Fenomena ini bisa menjadi sebuah otokritik terhadap eksistensi parpol di Indonesia agar segera berbenah jika ingin tetap eksis sebagai ruang aspiratif. Jika hal ini terus terjadi, maka bisa dipastikan peran dan eksistensi parpol di masa yang akan datang akan digantikan oleh sesuatu yang lain.
Parpol seyogyanya mesti segera juga melakukan reformasi kepartaian, reideologisasi paradigma para kadernya, melakukan metamorfosa laju gerak partai agar tetap eksis sebagai partai yang terus melakukan pembaharuan dan memodernisasi dirinya jika ingin tetap mendapat tempat di hati rakyat.
Untuk menjadi partai modern, partai politik harus melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang baik. Kemudian menjadikan parpol sebagai sebuah sekolah. Tempat di mana masyarakat dididik dan dilatih menjadi calon pemimpin, sehingga partai politik menjadi rahim calon pemimpin masa depan Indonesia.